“Setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan” begitu bunyi UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Kalimat itu
begitu gamblang menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk dapat
memperoleh pendidikan. Namun pada praktiknya, pelaksanaan pendidikan nasional
tak sebaik yang telah dicanangkan oleh para pendiri bangsa ini dulu. Banyaknya
anak putus sekolah atau bahkan yang sama sekali tak mengenyam bangku sekolah
karena melangitnya biaya pendidikan, infrastruktur sekolahan yang jauh dari
kata layak di banyak daerah, dan berbagai masalah lainya seolah menjadi potret hitam
dunia pendidikan kita. Sebagai gambaran, pada 2007 kemendikbud merilis data
yang menunjukkan bahwa ada 1,5 juta anak
Indonesia tidak bisa melanjutkan sekolah karena berbagai hal. Namun
faktor terbesarnya adalah membengkaknya biaya pendidikan sehingga banyak orang
tua yang tidak bisa mengantarkan anaknya mengenyam pendidikan layak. Sepertinya
“kutukan” orang miskin dilarang sekolah masih
berlaku hingga kini. Sehingga amat banyak orang yang sebenarnya membutuhkan
pendidikan untuk dapat menaikan taraf hidupnya justru harus dijegal oleh
tingginya biaya pendidikan.
Meski
banyak yang berupaya membuat pendidikan ramah bagi kalangan bawah tetapi sampai
sekarang pendidikan tetap menjadi barang mewah dan diperjualbelikan dengan
harga tinggi. Tak usah banyak mengungkit biaya untuk pendidikan tinggi, bahkan
untuk pendidikan di tingkat dasar saja, biayanya tak bisa dikatakan murah bagi
sebagian masyarakat. Wacana mengenai pendidikan murah nampaknya hanya menjadi
mitos yang hanya hidup di angan-angan sebagian besar masyarakat Indonesia saja,
Faktanya pendidikan masih saja tak gampang diakses. Adanya program BOS tak
lantas membuat masyarakat miskin dapat begitu saja menyekolahkan anak-anaknya.
Maraknya pungutan liar serta banyaknya kegiatan-kegiatan yang sejatinya tidak
perlu makin menambah mahal biaya pendidikan. Belum lagi ditambah sederet iuran
tambahan seperti biaya seragam olahraga, uang gedung, pembelian buku pegangan
yang kerap kali merupakan hasil kong kalikong pihak sekolah dengan perusahaan
yang alasan terbesarnya adalah mencari laba, atau yang lebih konyol lagi adalah
infak yang jumlahnya sudah ditentukan standard minimalnya sehingga kerap
diplesetkan menjadi Iuran Faksa (infaq:red).
APBN yang digelontorkan negara sebesar 20% juga bukan jalan keluar yang mampu
menyelesaikan masalah mahalnya biaya pendidikan. Banyaknya koruptor yang
bermarkas di instansi pendidikan telah memangkas anggaran pendidikan sampai
kepada yang membutuhkan.
Kalau
sudah begini praktis pendidikan di negeri ini hanya mampu mengakomodir tiga
golongan saja, yakni ;
1.
mereka
yang pintar dan kaya
2.
mereka
yang bodoh tapi kaya
3.
mereka
yang miskin tapi pintar dan beruntung
"Pendidikan di Indonesia susah diakses, justru oleh mereka yang membutuhkan"
lantas
bagaimana dengan mereka yang miskin dan
bodoh? Mereka terbuang dan tersisih oleh logika dagang pendidikan, dimana prinsipnya
hanya yang bisa bayar yang boleh menikmati pendidikan. Seharusnya para pejabat
dengan titel panjangnya bisa tahu kelompok mana yang lebih membutuhkan
pendidikan. Namun apa daya, mekanisme pasar telah melumpuhkan sendi-sendi
perlawanan para pejabat. Lidah mereka kelu untuk menyuarakan urgensi pendidikan
bagi si miskin. Sehingga pendidikan malah kian memperlebar kesenjangan sosial
membuat yang kaya makin pintar, yang miskin makin terpuruk. Celakanya akses
jaminan kesehatan si miskin juga sangat minim, hingga membuat masyarakat msikin
tak punya banyak pilihan kecuali menghiba pada Tuhanya soal nasibnya yang
ditelantarkan negara yang konon kaya raya. [disadur dari buku :Orang Miskin Dilarang Sekolah]