Senin, 28 April 2014

Yang Kaya Makin Pintar, yang Miskin Mati Aja!



“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” begitu bunyi UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Kalimat itu begitu gamblang menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan. Namun pada praktiknya, pelaksanaan pendidikan nasional tak sebaik yang telah dicanangkan oleh para pendiri bangsa ini dulu. Banyaknya anak putus sekolah atau bahkan yang sama sekali tak mengenyam bangku sekolah karena melangitnya biaya pendidikan, infrastruktur sekolahan yang jauh dari kata layak di banyak daerah, dan berbagai masalah lainya seolah menjadi potret hitam dunia pendidikan kita. Sebagai gambaran, pada 2007 kemendikbud merilis data yang menunjukkan bahwa ada 1,5 juta anak  Indonesia tidak bisa melanjutkan sekolah karena berbagai hal. Namun faktor terbesarnya adalah membengkaknya biaya pendidikan sehingga banyak orang tua yang tidak bisa mengantarkan anaknya mengenyam pendidikan layak. Sepertinya “kutukan” orang miskin dilarang sekolah masih berlaku hingga kini. Sehingga amat banyak orang yang sebenarnya membutuhkan pendidikan untuk dapat menaikan taraf hidupnya justru harus dijegal oleh tingginya biaya pendidikan.
Meski banyak yang berupaya membuat pendidikan ramah bagi kalangan bawah tetapi sampai sekarang pendidikan tetap menjadi barang mewah dan diperjualbelikan dengan harga tinggi. Tak usah banyak mengungkit biaya untuk pendidikan tinggi, bahkan untuk pendidikan di tingkat dasar saja, biayanya tak bisa dikatakan murah bagi sebagian masyarakat. Wacana mengenai pendidikan murah nampaknya hanya menjadi mitos yang hanya hidup di angan-angan sebagian besar masyarakat Indonesia saja, Faktanya pendidikan masih saja tak gampang diakses. Adanya program BOS tak lantas membuat masyarakat miskin dapat begitu saja menyekolahkan anak-anaknya. Maraknya pungutan liar serta banyaknya kegiatan-kegiatan yang sejatinya tidak perlu makin menambah mahal biaya pendidikan. Belum lagi ditambah sederet iuran tambahan seperti biaya seragam olahraga, uang gedung, pembelian buku pegangan yang kerap kali merupakan hasil kong kalikong pihak sekolah dengan perusahaan yang alasan terbesarnya adalah mencari laba, atau yang lebih konyol lagi adalah infak yang jumlahnya sudah ditentukan standard minimalnya sehingga kerap diplesetkan menjadi Iuran Faksa (infaq:red). APBN yang digelontorkan negara sebesar 20% juga bukan jalan keluar yang mampu menyelesaikan masalah mahalnya biaya pendidikan. Banyaknya koruptor yang bermarkas di instansi pendidikan telah memangkas anggaran pendidikan sampai kepada yang membutuhkan.
Kalau sudah begini praktis pendidikan di negeri ini hanya mampu mengakomodir tiga golongan saja, yakni ;
1.                  mereka yang pintar dan kaya
2.                  mereka yang bodoh tapi kaya
3.                  mereka yang miskin tapi pintar dan beruntung

           
"Pendidikan di Indonesia susah diakses, justru oleh mereka yang membutuhkan"


lantas bagaimana dengan mereka yang miskin dan bodoh? Mereka terbuang dan tersisih oleh logika dagang pendidikan, dimana prinsipnya hanya yang bisa bayar yang boleh menikmati pendidikan. Seharusnya para pejabat dengan titel panjangnya bisa tahu kelompok mana yang lebih membutuhkan pendidikan. Namun apa daya, mekanisme pasar telah melumpuhkan sendi-sendi perlawanan para pejabat. Lidah mereka kelu untuk menyuarakan urgensi pendidikan bagi si miskin. Sehingga pendidikan malah kian memperlebar kesenjangan sosial membuat yang kaya makin pintar, yang miskin makin terpuruk. Celakanya akses jaminan kesehatan si miskin juga sangat minim, hingga membuat masyarakat msikin tak punya banyak pilihan kecuali menghiba pada Tuhanya soal nasibnya yang ditelantarkan negara yang konon kaya raya. [disadur dari buku :Orang Miskin Dilarang Sekolah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar